Pages - Menu

Kamis, 11 November 2021

Iris Yang Miris

 

Iris yang Miris



            Hari ini, entah sudah berapa lama aku terpaku memandang foto seukuran kartu pos itu. Memandangnya dengan berbagai perasaan yang berkecamuk. Aku mengusap foto itu. Tanpa sadar tertawa sendiri. 

            Aku tak begitu ingat lagi, kapan tepatnya foto ini dibuat. Seingatku, waktu itu papa iseng-iseng memotret. Mas Bayu tampak serius menunjuk sesuatu di buku, sementara aku justru tengah menatap ke arah wajahnya sambil gigit jari.

            Adegan itu saja sudah cukup lucu dan bisa mengundang senyum. Apalagi yang terlihat di potret itu hanyalah seorang gadis kecil bermuka tembem. Hanya mengenakan celana pendek dan singlet. Bagaimana reaksinya, jika Mas Bayu melihat foto ini lagi? Ia pasti terpingkal-pingkal dan lantas mengejekku habis-habisan. Aku memang terlihat jelek dan culun sekali di foto itu.

 "Tapi sekarang kamu cantik sekali..."

      Ah, apakah mungkin ia akan berkomentar seperti itu? Seperti apa ia sekarang? Lalu bagaimana pula perasaannya terhadapku?

          Selama hampir 3 tahun aku mengenalnya. Ia adalah pria kedua setelah papa yang sangat dekat denganku. Ia sebenarnya belumlah cukup pantas untuk disebut pria dewasa. Tapi bagaimana lagi?

     Waktu itu, aku belum genap 10 tahun, sedangkan Mas Bayu jauh lebih tua dariku. Tepatnya, 7 tahun di atasku. Ia adalah guru privat yang memberi bimbingan belajar untukku, sejak aku naik ke kelas 3 SD hingga Mas Bayu tamat SMA.

        Aku tahu dan sangat yakin bahwa ia adalah cowok pintar. Jika tidak, bagaimana mungkin waktu itu mama memilihnya menjadi pembimbingku. Sementara, ia masih berstatus pelajar SMA.

        Penilaianku sejak kanak-kanak tidak berubah. Ia memang cowok yang menarik. Tampan dengan pesona hebat di matanya. Pandangan matanya dalam dan terkesan dingin, meski mata yang memukau itu terhalang kacamata minus sekian.

"Iris! Ngapain aja sih? Ayo, bantu mama di dapur!" teriakan mama yang khas membuatku tersentak dari lamunan panjang.

      Aku menutup album foto itu dan segera berlari ke dapur, mendapatkan mama yang tengah sibuk memasak.

"Emangnya Mas Bayu mau datang sama siapa sih, Ma? Pake nyiapin masakan segini banyaknya?" selorohku sembari heran menyaksikan kehebohan yang mama buat di dapurnya yang luas dan sekarang berantakan.

"Sendiri. Tapi apa salahnya sekali ini kita memperlakukan dia lebih istimewa. Baru sekali ini, kan?" jawab mama tanpa menoleh sambil terus mengaduk saus asam manis di dalam penggorengan.

"Sip lah!"

       Tanpa diminta, aku mengangkat gurami yang telah matang dari penggorengan. Lalu memasukkan segenggam udang segar yang telah dibumbui.

"Seperti apa Mas Bayu sekarang?" tanyaku seolah pada diri sendiri.

"Entahlah. Mana Mama ngerti?" Mama berusaha menjawab seraya terus mondar-mandir mengambil kebutuhan  masak di lemari pendingin.

            Kemudian sambil memotong beberapa lembar daun bawang, mama berujar,

"Pasti telah jadi pria matang. Dewasa. Dengan segudang ilmu yang..."

"Ah, Mama," potongku.

"Dia jadi sombong enggak, ya?"

"Sombong?" Mama menoleh ke arahku dengan mengernyitkan dahi.

"Anak kayak Bayu mana bisa sombong. Enggak. Dia kayaknya enggak punya bakat sombong sedikit pun. Walau sekarang lulusan luar negeri. Dari dulu kita ngerti itu!"

"Tapi surat-surat Iris enggak ada yang dibalasnya!" protesku dengan muka ditekuk.

"Ah, kamu maunya serba lebih. Apa enggak cukup, kartu-kartu pos yang dikirimnya itu?"

"Cuma kartu pos...," sungutku.

"Mas Bayu itu enggak sombong. Buktinya, begitu tiba dari Amerika, ia justru hari ini mau mampir dulu kemari sebelum ia pulang ke kampung untuk bertemu kedua orang tuanya," jelas mama dengan menyunggingkan senyum di wajahnya yang basah oleh keringat.

"Ia ingin menunjukkan bahwa ia bukan orang yang enggak kenal membalas budi baik. Ia ingin menunjukkan terima kasihnya. Dulu, jika bukan dari honor yang diberikan Papa, mana mungkin Mas Bayu bisa menyelesaikan SMA-nya? Iya kan, Ma?" tuturku sok tahu.

           Mama menggeleng berkali-kali.

"Enggak gitu, Ris. Papa dan Mama enggak pernah telah menanam jasa pada Bayu. Ia memang pantas menerimanya. Selain cerdas, Bayu telah menularkan sebagian kepandaiannya padamu."

     Aku terdiam, memandang udang-udang yang mulai memerah di penggorengan. Di benakku, hanya ada satu surat yang datang. Selebihnya kartu pos.

           Di surat Mas Bayu dari Ohio, hanya kalimat terakhir dari isinya yang paling kuingat.

"Saya rindu dengan rumah ini. Dengan isi dan penghuninya. Terlebih saya sangat kangen dengan Iris tersayang."

Iris tersayang? Ya ampun!

          Aku menjadi terkenang saat terakhir sebelum Mas Bayu berangkat ke Amerika Mas Bayu mengatakan,

"Mungkin sudah saatnya, kamu bisa belajar lebih mandiri jika kamu tidak mau menerima pembimbing yang baru. Mas Rino bersedia menggantikan posisiku di sini, adikku. Ia juga pandai."

"Enggak mau! Iris cuma mau Mas Bayu! Aku dibimbing orang lain? Ogah!"

         Aku meradang dan menangis tersedu-sedu saat Mas Bayu akhirnya benar-benar pergi. Ia adalah salah satu dari sedikit siswa yang beruntung mendapatkan beasiswa untuk belajar di Amerika. Begitu lulus SMA dengan nilai-nilai sangat memuaskan, Mas Bayu langsung mendapatkan beasiswa itu.

"Tolong ambilin kecap di kulkas, Ris!" Lagi-lagi mama memporak-porandakan lamunanku.

         Satu jam pun berlalu.

"Sebentar lagi ia datang," gumam mama sembari menata hidangan di meja. Gurami saus asam manis, udang goreng mentega, sup asparagus, dan aneka salad sudah duduk manis dan siap disantap nanti.

 ☆☆☆

      Hari menjelang gelap, aku keluar dari kamar dan merasa bagai seorang dewi yang turun dari khayangan. Bukan cuma segar sehabis mandi, tapi juga yakin bahwa aku telah mempersiapkan penampilan terbaikku.

     Aku duduk di teras rumah bersama mama untuk menanti kehadirannya. Aku merasa waktu berjalan serasa amat lambat.

     Selang beberapa menit, suara mobil terdengar sedang menikung mulus memasuki halaman rumah. Debar di dadaku makin tak menentu. Papa tidak sendirian. Ada seseorang duduk di sebelahnya. Pria jangkung itu lebih dahulu turun dari mobil sambil menarik koper beroda yang kelihatannya cukup berat.

       Ia adalah Mas Bayu yang kini tampak lebih tampan. Berapa kali ia menikmati winter tide di Ohio sana? Apakah salju bisa melunturkan kulit legamnya dulu hingga selangsat dan sebersih in

"Ini pasti Iris!"

     Deg! Mataku beradu dengan tatapannya. Gila! Ia benar-benar telah menjelma, kecuali keteduhan matanya itu!

"Mas Bayu...?" sapaku terbata.

"Iris tersayangku!" Pria harum itu menjerit girang dan berhambur memelukku erat.

      Papa dan mama beringsut ke dalam rumah seakan membiarkan kami melepaskan rindu yang tertahan beberapa tahun.

"Sudah sepintar apa kamu sekarang? Kamu... kamu sudah sebesar ini?"

        Mas Bayu mundur dua langkah dengan mata terbelalak. Lengannya terlentang. Takjub.

"Rasanya baru kemarin ketemu. Sekarang kamu sudah... ah, kamu pasti sudah SMA!" ujar Mas Bayu mereka-reka.

"Iya, Mas. Kelas 1 SMA." Aku mencoba sewajarnya, padahal degup jantungku makin tak karuan iramanya.

"Aku punya something special buat kamu, Iris. Telah kusiapkan jauh hari sebelum kuperoleh kepastian jadwal kepulangan. Tapi..."

      Ia merogoh saku tasnya dan mengeluarkan sesuatu, kemudian mengangsurkannya padaku.

"Bukalah, Ris!"

      Tanganku bergetar ketika menyadari benda yang berada di tanganku adalah sebuah kotak mungil berwarna merah sebesar korek api. Aku membuka kotak itu.

"Bukan mas intan yang mahal. Tapi katanya cincin imitasi itu didesain oleh tangan-tangan ahli."

      Aku makin terpana melihat ketampanan Mas Bayu dari dekat. Hatiku berbunga-bunga dan spontan mengenakan cincin itu ke jari manisku.

"Aduh!" jeritku dalam hati. Cincin itu tak masuk ke jari manisku.

"Cincinnya kekecilan," keluhku putus asa.

"Ah?!" Mas Bayu mendekap wajahnya. Ia tampak sangat kecewa.

"Maafkan aku, Ris. Aku salah perhitungan. Kupikir, kamu masih... ah bodohnya aku. Sekian tahun kita berpisah, tentu saja kamu telah banyak berubah."

   Aku menunduk mengamati cincin silver bermata ungu yang hanya bisa mencapai pertengahan jari kelingkingku.

"Bayu! Kenapa enggak segera masuk?" Tiba-tiba mama menghambur ke luar dan menarik tangan Mas Bayu dan menggiringnya ke dalam rumah.

"Ceritanya nanti saja, di dalam. Lagian, yang di meja sudah nungguin. Nanti keburu dingin. Ayolah, kamu pasti sudah kangen dengan masakan tanah air. Terutama masakan Ibu, kan?"

       Mas Bayu tersenyum girang melihat tingkah mama yang menarik Mas Bayu seperti anak kecil. Papa yang sedari tadi diam, ikut tersenyum melihat ulah mama. Sedangkan aku masih membeku, menatap cincin yang melingkar dengan janggal di kelingkingku.

"Malam ini Bayu tidur di sini, Ma," ujar Papa ketika kami sudah berada di meja makan.

"Semua sudah diatur kok," jawab Mama bangga seraya menyendokkan potongan gurami ke dalam piring Mas Bayu.

"Tapi kita harus bersiap-siap. Besok pagi kita akan antar Bayu pulang ke kampungnya. Sekalian menghadiri pesta pertunangannya."

        Mama mengangguk seraya  mengunyah udang yang telanjur masuk ke dalam mulutnya.

"Dulu kita pernah menebak. Bayu pulang  enggak hanya membawa gelar, tapi juga calon istri. Ternyata dugaan kita keliru. Bayu tetap setia dengan seorang gadis cantik di kampungnya sana!" lanjut Papa bangga seraya mengacungkan jempolnya ke hadapan Mas Bayu.

        Malam bertabur bintang, tapi ada halilintar menggelegar di dadaku.

Pesta pertunangan? Gadis cantik di kampung? Pangeranku telah datang dengan segala pesona yang makin berlipat. Namun ternyata, aku bukanlah putri cantik yang berhasil menawan hatinya. Lalu aku ini siapa baginya?

      Dengan lesu, aku pura-pura pamit ke kamar mandi. Papa, Mama, dan Mas Bayu masih tenggelam dalam percakapan yang hangat dan tawa meriah yang masih jelas tertangkap di telingaku dari bilik kamar.

        Aku duduk di tepi ranjang sambil mengelus cincin bermata ungu yang terpaksa melingkar di jari kelingkingku. Kali ini terlihat buram saat bulir-bulir hangat jatuh menimpanya.

    Oh Tuhan. Ternyata di matanya, aku tetap seorang gadis kecil yang lucu atau justru menggelikan.

        Haruskah aku merasa patah hati? (*)


#kasihtaksampaiseries

#minimshowing

1 komentar:

  1. Bisa aja ceritanya Mba Ety....gadis kecil yang jatuh cinta kpd guru lesnya setelah ia dewasa.... Mau nulis The Series lagi.... Asiik. Btw. Showing tidak mutlak ya mba... tanpa showing masih bagus juga...Dengan showing mgkin lebih menarik tapi tak perlu dipaksakan. Menurutku gitu sih

    BalasHapus