Pages - Menu

Kamis, 11 November 2021

Iris Yang Miris

 

Iris yang Miris



            Hari ini, entah sudah berapa lama aku terpaku memandang foto seukuran kartu pos itu. Memandangnya dengan berbagai perasaan yang berkecamuk. Aku mengusap foto itu. Tanpa sadar tertawa sendiri. 

            Aku tak begitu ingat lagi, kapan tepatnya foto ini dibuat. Seingatku, waktu itu papa iseng-iseng memotret. Mas Bayu tampak serius menunjuk sesuatu di buku, sementara aku justru tengah menatap ke arah wajahnya sambil gigit jari.

            Adegan itu saja sudah cukup lucu dan bisa mengundang senyum. Apalagi yang terlihat di potret itu hanyalah seorang gadis kecil bermuka tembem. Hanya mengenakan celana pendek dan singlet. Bagaimana reaksinya, jika Mas Bayu melihat foto ini lagi? Ia pasti terpingkal-pingkal dan lantas mengejekku habis-habisan. Aku memang terlihat jelek dan culun sekali di foto itu.

 "Tapi sekarang kamu cantik sekali..."

      Ah, apakah mungkin ia akan berkomentar seperti itu? Seperti apa ia sekarang? Lalu bagaimana pula perasaannya terhadapku?

          Selama hampir 3 tahun aku mengenalnya. Ia adalah pria kedua setelah papa yang sangat dekat denganku. Ia sebenarnya belumlah cukup pantas untuk disebut pria dewasa. Tapi bagaimana lagi?

     Waktu itu, aku belum genap 10 tahun, sedangkan Mas Bayu jauh lebih tua dariku. Tepatnya, 7 tahun di atasku. Ia adalah guru privat yang memberi bimbingan belajar untukku, sejak aku naik ke kelas 3 SD hingga Mas Bayu tamat SMA.

        Aku tahu dan sangat yakin bahwa ia adalah cowok pintar. Jika tidak, bagaimana mungkin waktu itu mama memilihnya menjadi pembimbingku. Sementara, ia masih berstatus pelajar SMA.

        Penilaianku sejak kanak-kanak tidak berubah. Ia memang cowok yang menarik. Tampan dengan pesona hebat di matanya. Pandangan matanya dalam dan terkesan dingin, meski mata yang memukau itu terhalang kacamata minus sekian.

"Iris! Ngapain aja sih? Ayo, bantu mama di dapur!" teriakan mama yang khas membuatku tersentak dari lamunan panjang.

      Aku menutup album foto itu dan segera berlari ke dapur, mendapatkan mama yang tengah sibuk memasak.

"Emangnya Mas Bayu mau datang sama siapa sih, Ma? Pake nyiapin masakan segini banyaknya?" selorohku sembari heran menyaksikan kehebohan yang mama buat di dapurnya yang luas dan sekarang berantakan.

"Sendiri. Tapi apa salahnya sekali ini kita memperlakukan dia lebih istimewa. Baru sekali ini, kan?" jawab mama tanpa menoleh sambil terus mengaduk saus asam manis di dalam penggorengan.

"Sip lah!"

       Tanpa diminta, aku mengangkat gurami yang telah matang dari penggorengan. Lalu memasukkan segenggam udang segar yang telah dibumbui.

"Seperti apa Mas Bayu sekarang?" tanyaku seolah pada diri sendiri.

"Entahlah. Mana Mama ngerti?" Mama berusaha menjawab seraya terus mondar-mandir mengambil kebutuhan  masak di lemari pendingin.

            Kemudian sambil memotong beberapa lembar daun bawang, mama berujar,

"Pasti telah jadi pria matang. Dewasa. Dengan segudang ilmu yang..."

"Ah, Mama," potongku.

"Dia jadi sombong enggak, ya?"

"Sombong?" Mama menoleh ke arahku dengan mengernyitkan dahi.

"Anak kayak Bayu mana bisa sombong. Enggak. Dia kayaknya enggak punya bakat sombong sedikit pun. Walau sekarang lulusan luar negeri. Dari dulu kita ngerti itu!"

"Tapi surat-surat Iris enggak ada yang dibalasnya!" protesku dengan muka ditekuk.

"Ah, kamu maunya serba lebih. Apa enggak cukup, kartu-kartu pos yang dikirimnya itu?"

"Cuma kartu pos...," sungutku.

"Mas Bayu itu enggak sombong. Buktinya, begitu tiba dari Amerika, ia justru hari ini mau mampir dulu kemari sebelum ia pulang ke kampung untuk bertemu kedua orang tuanya," jelas mama dengan menyunggingkan senyum di wajahnya yang basah oleh keringat.

"Ia ingin menunjukkan bahwa ia bukan orang yang enggak kenal membalas budi baik. Ia ingin menunjukkan terima kasihnya. Dulu, jika bukan dari honor yang diberikan Papa, mana mungkin Mas Bayu bisa menyelesaikan SMA-nya? Iya kan, Ma?" tuturku sok tahu.

           Mama menggeleng berkali-kali.

"Enggak gitu, Ris. Papa dan Mama enggak pernah telah menanam jasa pada Bayu. Ia memang pantas menerimanya. Selain cerdas, Bayu telah menularkan sebagian kepandaiannya padamu."

     Aku terdiam, memandang udang-udang yang mulai memerah di penggorengan. Di benakku, hanya ada satu surat yang datang. Selebihnya kartu pos.

           Di surat Mas Bayu dari Ohio, hanya kalimat terakhir dari isinya yang paling kuingat.

"Saya rindu dengan rumah ini. Dengan isi dan penghuninya. Terlebih saya sangat kangen dengan Iris tersayang."

Iris tersayang? Ya ampun!

          Aku menjadi terkenang saat terakhir sebelum Mas Bayu berangkat ke Amerika Mas Bayu mengatakan,

"Mungkin sudah saatnya, kamu bisa belajar lebih mandiri jika kamu tidak mau menerima pembimbing yang baru. Mas Rino bersedia menggantikan posisiku di sini, adikku. Ia juga pandai."

"Enggak mau! Iris cuma mau Mas Bayu! Aku dibimbing orang lain? Ogah!"

         Aku meradang dan menangis tersedu-sedu saat Mas Bayu akhirnya benar-benar pergi. Ia adalah salah satu dari sedikit siswa yang beruntung mendapatkan beasiswa untuk belajar di Amerika. Begitu lulus SMA dengan nilai-nilai sangat memuaskan, Mas Bayu langsung mendapatkan beasiswa itu.

"Tolong ambilin kecap di kulkas, Ris!" Lagi-lagi mama memporak-porandakan lamunanku.

         Satu jam pun berlalu.

"Sebentar lagi ia datang," gumam mama sembari menata hidangan di meja. Gurami saus asam manis, udang goreng mentega, sup asparagus, dan aneka salad sudah duduk manis dan siap disantap nanti.

 ☆☆☆

      Hari menjelang gelap, aku keluar dari kamar dan merasa bagai seorang dewi yang turun dari khayangan. Bukan cuma segar sehabis mandi, tapi juga yakin bahwa aku telah mempersiapkan penampilan terbaikku.

     Aku duduk di teras rumah bersama mama untuk menanti kehadirannya. Aku merasa waktu berjalan serasa amat lambat.

     Selang beberapa menit, suara mobil terdengar sedang menikung mulus memasuki halaman rumah. Debar di dadaku makin tak menentu. Papa tidak sendirian. Ada seseorang duduk di sebelahnya. Pria jangkung itu lebih dahulu turun dari mobil sambil menarik koper beroda yang kelihatannya cukup berat.

       Ia adalah Mas Bayu yang kini tampak lebih tampan. Berapa kali ia menikmati winter tide di Ohio sana? Apakah salju bisa melunturkan kulit legamnya dulu hingga selangsat dan sebersih in

"Ini pasti Iris!"

     Deg! Mataku beradu dengan tatapannya. Gila! Ia benar-benar telah menjelma, kecuali keteduhan matanya itu!

"Mas Bayu...?" sapaku terbata.

"Iris tersayangku!" Pria harum itu menjerit girang dan berhambur memelukku erat.

      Papa dan mama beringsut ke dalam rumah seakan membiarkan kami melepaskan rindu yang tertahan beberapa tahun.

"Sudah sepintar apa kamu sekarang? Kamu... kamu sudah sebesar ini?"

        Mas Bayu mundur dua langkah dengan mata terbelalak. Lengannya terlentang. Takjub.

"Rasanya baru kemarin ketemu. Sekarang kamu sudah... ah, kamu pasti sudah SMA!" ujar Mas Bayu mereka-reka.

"Iya, Mas. Kelas 1 SMA." Aku mencoba sewajarnya, padahal degup jantungku makin tak karuan iramanya.

"Aku punya something special buat kamu, Iris. Telah kusiapkan jauh hari sebelum kuperoleh kepastian jadwal kepulangan. Tapi..."

      Ia merogoh saku tasnya dan mengeluarkan sesuatu, kemudian mengangsurkannya padaku.

"Bukalah, Ris!"

      Tanganku bergetar ketika menyadari benda yang berada di tanganku adalah sebuah kotak mungil berwarna merah sebesar korek api. Aku membuka kotak itu.

"Bukan mas intan yang mahal. Tapi katanya cincin imitasi itu didesain oleh tangan-tangan ahli."

      Aku makin terpana melihat ketampanan Mas Bayu dari dekat. Hatiku berbunga-bunga dan spontan mengenakan cincin itu ke jari manisku.

"Aduh!" jeritku dalam hati. Cincin itu tak masuk ke jari manisku.

"Cincinnya kekecilan," keluhku putus asa.

"Ah?!" Mas Bayu mendekap wajahnya. Ia tampak sangat kecewa.

"Maafkan aku, Ris. Aku salah perhitungan. Kupikir, kamu masih... ah bodohnya aku. Sekian tahun kita berpisah, tentu saja kamu telah banyak berubah."

   Aku menunduk mengamati cincin silver bermata ungu yang hanya bisa mencapai pertengahan jari kelingkingku.

"Bayu! Kenapa enggak segera masuk?" Tiba-tiba mama menghambur ke luar dan menarik tangan Mas Bayu dan menggiringnya ke dalam rumah.

"Ceritanya nanti saja, di dalam. Lagian, yang di meja sudah nungguin. Nanti keburu dingin. Ayolah, kamu pasti sudah kangen dengan masakan tanah air. Terutama masakan Ibu, kan?"

       Mas Bayu tersenyum girang melihat tingkah mama yang menarik Mas Bayu seperti anak kecil. Papa yang sedari tadi diam, ikut tersenyum melihat ulah mama. Sedangkan aku masih membeku, menatap cincin yang melingkar dengan janggal di kelingkingku.

"Malam ini Bayu tidur di sini, Ma," ujar Papa ketika kami sudah berada di meja makan.

"Semua sudah diatur kok," jawab Mama bangga seraya menyendokkan potongan gurami ke dalam piring Mas Bayu.

"Tapi kita harus bersiap-siap. Besok pagi kita akan antar Bayu pulang ke kampungnya. Sekalian menghadiri pesta pertunangannya."

        Mama mengangguk seraya  mengunyah udang yang telanjur masuk ke dalam mulutnya.

"Dulu kita pernah menebak. Bayu pulang  enggak hanya membawa gelar, tapi juga calon istri. Ternyata dugaan kita keliru. Bayu tetap setia dengan seorang gadis cantik di kampungnya sana!" lanjut Papa bangga seraya mengacungkan jempolnya ke hadapan Mas Bayu.

        Malam bertabur bintang, tapi ada halilintar menggelegar di dadaku.

Pesta pertunangan? Gadis cantik di kampung? Pangeranku telah datang dengan segala pesona yang makin berlipat. Namun ternyata, aku bukanlah putri cantik yang berhasil menawan hatinya. Lalu aku ini siapa baginya?

      Dengan lesu, aku pura-pura pamit ke kamar mandi. Papa, Mama, dan Mas Bayu masih tenggelam dalam percakapan yang hangat dan tawa meriah yang masih jelas tertangkap di telingaku dari bilik kamar.

        Aku duduk di tepi ranjang sambil mengelus cincin bermata ungu yang terpaksa melingkar di jari kelingkingku. Kali ini terlihat buram saat bulir-bulir hangat jatuh menimpanya.

    Oh Tuhan. Ternyata di matanya, aku tetap seorang gadis kecil yang lucu atau justru menggelikan.

        Haruskah aku merasa patah hati? (*)


#kasihtaksampaiseries

#minimshowing

Selasa, 02 November 2021

Semua orang Berpotensi Menjadi Luar Biasa



Semua Orang Berpotensi Menjadi Luar Biasa


 

Setiap orang memiliki kebintangan di bidang masing-masing. Maka, seorang professor tidak boleh menyatakan bahwa Christiano Ronaldo sebagai orang bodoh hanya karena secara pendidikan dia tidak seunggul sang professor. ”

***

Bintang yang Redup

        Mengapa ada orang yang sukses dan ada yang gagal? Mengapa ada yang bisa menggapai puncak prestasi, dan ada yang bertahan dalam taraf  ‘biasa-biasa’ saja? Mengapa ada yang mampu melangkah dengan kepercayaan diri, namun ada pula yang tunduk dalam kerendahdirian?

        Suatu hari, butik tempatku bekerja didatangi seorang wanita separuh baya, berusia sekitar 40 tahunan. Ia berpakaian kumal, keringatan, serta rambut acak-acakan. Sepasang matanya memandang liar, mengawasi gerak-gerik orang-orang yang ada di dalam butik. Tanpa basa-basi, wanita itu berbicara dengan suara cepat, terkesan sinis, dan judes.

“Mbak, saya berasal dari Indramayu. Saya sedang mencari suami saya yang sudah pergi beberapa bulan, tapi nggak balik-balik. Suami saya katanya kerja di daerah sini. Tetapi saya sudah muter-muter sampai capek, nggak juga ketemu. Sekarang uang saya sudah habis. Saya tidak punya ongkos untuk pulang.”

        Nah, kalian tahu apa urusan wanita itu dengan menyebutkan kehabisan ongkos tersebut hingga mendatangi tempatku bekerja?

“Apa ibu sudah lapor ke kantor Polisi atau tanya ke RT dan RW di daerah ini?”

“Walah, ngurus apa-apa itu repot, Mbak! Malah dipersulit.” 

        Aku menatap sosok itu. Entah mengapa, aku meragukan kejujurannya. Bukan karena aku mampu menembus isi hatinya. Sederhana saja masalahnya. Aku telah berkali-kali ditipu oleh orang-orang semacam itu.

        Sebelumnya. Pernah seorang pengemis datang datang ke rumah dengan pakaian compang-camping, wajah lusuh, serta tatapan memelas. Aku pun memberinya sedekah. Sedikit memang, namun ikhlas, Insyaallah.

        Namun beberapa saat kemudian, tetanggaku mendapati pengemis  itu, setelah seharian “bekerja” dan mendapatkan uang yang cukup, ia meminta izin untuk memasuki sebuah rumah milik tetangga yang kosong. Lalu ia keluar dari rumah kosong itu namun  dengan dandanan yang bersih dan keren. Keikhlasanku pun terasa tercabik-cabik rasanya.

        Pernah juga, ketika dalam perjalanan pulang dari suatu tempat, aku mendapati seorang wanita yang tergeletak lemas. Ia berbicara dengan terbata-bata. Ia mengungkapkan sebuah fakta yang baginya mungkin luar biasa, namun ajaibnya, fakta tersebut hampir sama dengan apa yang disampaikan wanita yang pernah datang ke butik-mencari suaminya.

        Modus operandi yang hampir sama. Setelah berputar-putar hingga letih, dan tak menemukan orang yang dicari, ia mengatakan kehabisan ongkos untuk pulang. Namun wanita yang satu ini mengaku sedang hamil muda, dan menderita asma.

        Merasa iba, aku pun memberikan selembar uang berwarna hijau kepadanya. Bahkan, aku sempat mencarikan seorang dokter yang justru sempat kebingungan ketika memeriksanya.

        Hingga akhirnya akting si wanita itu terbongkar ketika tetanggaku bercerita, bahwa wanita dengan ciri-ciri yang sama dengan modus operandi yang sama, melakukan aksi di tempat yang lain. Ia pura-pura mencari suaminya, pura-pura hamil, pura-pura sakit asma, dan pura-pura pingsan.

        Kisah-kisah tadi, jujur saja membuatku trauma. Hingga aku tiba di titik jenuh dengan melodrama yang mereka mainkan.

“Ibu jujur saja, benar nggak kenyataannya seperti ini. Kalau ibu ingin meminta sedekah, butuh uang, sampaikan aja apa adanya,” tegasku dengan penuh selidik.

“Ya Allah, Mbak… saya tidak berbohong!”  jawab wanita itu dengan suara meninggi. Lantas, ia pun “ngedumel”.  Ia menumpahkan beberapa kalimat yang membuat hatiku yang justru tidak enak.

        Akhirnya, demi keselamatan diri, aku serahkan saja uang kertas berwarna abu-abu. Lantas, apa jawabannya?

“Walaaah, cuma ngasih dua ribu ngomongnya muter sana-sini!” Wanita itu menatap dengan sinis, lalu meraih lembaran uang itu dengan kasar dan pergi sambil mengomel.

        Aku hanya tersenyum kecut, menghela napas seraya geleng-geleng kepala, dan berdoa.

“Ampuni hamba jika ternyata cerita wanita benar, ya Rabb. Tetapi jika memang wanita itu hanya mencari-cari alasan, seperti yang telah dilakukan oleh banyak orang lain dengan kasus serupa, aku benar-benar didera beribu keprihatinan.”

        Kenyataannya, wanita itu masih segar, sehat, kuat. Seandainya betul ia kehabisan ongkos, padahal dengan tenaganya ia masih bisa mendapatkan uang dengan cara yang lebih terhormat. Atau jika saja mereka jujur, tentu semua orang akan respek dan lebih menghargainya. 

        Bisa jadi ia akan mendapatkan uang lebih besar dari dua ribu rupiah, juga penghargaan yang nilainya jelas lebih tinggi dari sebentuk materi lainnya.

        Begitulah kehidupan. Ada yang kaya, ada yang miskin. Ada yang rajin, ada yang malas. Ada yang pandai, ada yang bodoh. Hanya saja, satu yang perlu kita renungi-kita semua meyakini-bahwa kaya, rajin, pandai dan segala bentuk kebaikan, sesungguhnya adalah kehendak Tuhan.

        Sang Pencipta tidak pernah mengharapkan hamba-hambanya menjadi seorang yang malas, miskin, bodoh, pencundang. Sebagai bukti. Tuhan  telah memberikan setiap makhluk-Nya kelebihan yang jika dioptimalkan, akan menutupi kekurangan yang ia miliki.

 

Hidup Adalah Kompetisi


        Bukalah jendela kamar di malam hari, tepatnya saat bulan tak sedang bersinar penuh dan cuaca pun sedang cerah-cerahnya. Tataplah langit dan merenunglah. Pandanglah bintang-bintang yang bertebaran di sana.

Saat itulah barangkali akan muncul sebuah pemikiran di benak kita tentang sebuah persaingan. Persaingan para bintang dalam menunjukkan kecemerlangan cahayanya.

        Di antara trilyunan bintang tersebut, ada cahayanya yang cukup kuat sehingga jelas ditangkap bermilyar pasang mata manusia. Namun ada pula yang pancarannya begitu lemah, sehingga hanya menyerupai titik kecil di kejauhan.

        Persaingan antar bintang dalam memperlihatkan kecemerlangannya bukanlah kompetisi ecek-ecek. Sebaliknya, sebuah kompetisi yang mega dahsyat. Mungkin terkesan naif jika kita membayangkan kompetisi yang terjadi antara manusia-manusia di muka bumi ini jika diibaratkan kompetisi para bintang dalam menunjukkan cahaya kecemerlangannya.

        Namun, kita tak bisa memungkiri bahwa ada proses penciptaan wujud manusia hingga lahir seorang anak manusia ke dunia ini. Dan jika hidup adalah kompetisi, maka baiknya kita juga merenungi tentang penciptaan seorang anak manusia hingga bisa lahir ke dunia ini.  

Dimana proses penciptaan manusia sendiri sungguh merupakan sebuah gambaran hidup yang sangat menakjubkan. Jutaan sel sperma berkompetisi untuk bisa membuahi satu sel telur yang telah ‘menunggu’ di tuba falopii

         Bak seorang putri yang duduk manis di persemayaman nan indah, menunggu pangeran tampan nan gagah perkasa meminangnya. Persis sebuah sayembara mencari ‘cinta’ keperkasaan, kekuatan, dan akhirnya, hanya akan ada satu sel sperma yang berhasil. Sperma yang paling excellent.

        Ini adalah sebuah mega kompetisi! Maka, jangan pernah menyepelekan siapa pun yang masih berwujud manusia. Dari segi penciptaannya saja, proses terlahirnya manusia begitu luar biasa.

        Namun pertanyaannya. Mampukah manusia berkompetisi untuk meraih ‘bintang’ nan tinggi? Apakah saat ini, kita justru merasa tengah menjadi seseorang yang “bukan apa-apa”, “tak bisa apa-apa”, dan tak akan mungkin menjadi “apa-apa”.  

        Atau sebenarnya ingin menjadi “apa-apa”, yang bisa “apa-apa” namun kesulitan untuk mewujudkannya. Jika demikian, berbahagialah. Karena kita masih diberi kehidupan. Banyak orang yang menganggap bahwa dirinya adalah “apa-apa” yang bisa melakukan “apa-apa”, namun sesungguhnya dia bukan “apa-apa" dan bukan “siapa-siapa”.

***

Menyibak Awan Penutup Bintang


Di suatu kesempatan, aku tepekur menatap seorang ibu yang sesekali tampak kerepotan menghadapi tingkah polah anaknya yang berusia sekitar 4 atau 5 tahun. Si anak berkali-kali marah, berteriak, lalu melakukan berbagai aktivitas yang ditujukan untuk memancing perhatian orang-orang di sekitarnya.

        Wanita itu terlihat sangat malu. Ia merasa tidak mampu menjadikan si anak sebagai seorang yang salih. Salih dalam paradigma yang sangat sempit. Karena palu vonis hakim pun, rasanya terlalu mengada-ada jika diketok untuk mengadili kenakalan seorang anak.

        Seringkali pandangan miring masyarakat seringkali tertuju kepada si ibu, ketika anak-anaknya tak bisa duduk diam sebagaimana’anak-anak surga’. Padahal, anak-anak yang selalu manis, bukan berarti steril dari masalah.

        Kemiringan itu semakin menjadi-jadi jika si ibu yang ‘gagal’ mencetak anak-anaknya menjadi anak-anak surga itu, ternyata ibu-ibu yang bertampang surga. Justru ibu-ibu dengan jilbab rapi, kerudung lebar, dan aktif di berbagai institusi keagamaan.

        Padahal kenyataannya, setiap anak adalah cerdas. Hanya saja, ada anak-anak tertentu yang kecerdasannya menemukan “ruang pembinaan” sehingga bakat yang dimilikinya bisa teroptimalkan, dan ia berhasil menjadi seorang bintang. Namun tak sedikit yang bakatnya membentur batu karang.

***

Cerdas Atau Bakat?

        Seorang teman Psikologi mengatakan,  definisi cerdas sesungguhnya tak sesempit yang kita bayangkan. Kita menganggap orang yang cerdas adalah yang kuat dalam bidang matematika, sains atau bahasa. Sementara orang yang memiliki bakat yang luar biasa di bidang seni atau olahraga misalnya, sering dipandang sebelah mata.

        Demikian juga, seorang siswa yang lemah dalam akademis, namun ternyata memiliki banyak teman dan mampu membina persahabatan yang baik, tetap saja dibilang anak yang bodoh bahkan nakal.

        Anak-anak dengan kecerdasan interpersonal yang tinggi  namun kurang mendapat perhatian dari orang tua, biasanya akan menjadi pemimpin sebuah geng yang orientasinya cenderung sebagai trouble maker.

        Kata pintar dan bodoh diperoleh dengan asumsi-asumsi yang sangat sempit. Stereotype (cap) yang diberikan kepada mereka, akhirnya justru membangun mereka sebagai sosok yang senada dengan capnya. 


(Sumber : Pixabay)

        Si pintar semakin berjaya dan cenderung meremehkan orang lain. Sementara si bodoh dan nakal, akan semakin tenggelam dalam kebodohan dan kenakalannya.

        Aku percaya bahwa setiap orang memiliki keunggulan yang berbeda-beda di bidangnya. Seorang professor  di bidang kedokteran tidak bisa mengatakan Christian Ronaldo sebagai orang bodoh meskipun pendidikan dia tidak secemerlang  sang professor. Ronaldo memilih kebintangan di bidang yang lain, yakni olahraga, sepakbola.

        Begitu juga seorang sarjana matematika yang IPK-nya cumlaude, tidak bisa menuding seorang gitaris yang berkali-kali mendapatkan penghargaan dari blantika musik negeri sebagai orang bodoh, hanya gara-gara nilai matematika sang gitaris hanya mendapat nilai kursi terbalik alias angka empat.

        Anak yang memiliki bakat matematika, dengan sistem pendidikan seperti pendidikan seperti yang sekarang diterapkan, akan lebih “berbahagia” karena mampu berekspresi dengan sempurna, dibandingkan dengan anak dengan bakat-semisal menggambar atau menari-terpaksa gigit jari.

        Bukan hanya karena sistem pendidikan yang tak mendukung, tetapi juga sistem sosial. Misalnya, kita sering mendengar seliweran pendapat orang tua yang mengatakan, 

“Mau jadi apa kalau setiap hari menggambar melulu atau setiap hari hanya joget-joget melulu,”

        Hal semacam itulah yang akhirnya membuat bakat-bakat seorang bintang akhirnya layu, mati dan terkubur. Jangan harap, seorang yang lebih tertarik olahraga dan benci matematika bisa dicetak menjadi bintang peraih medali emas di bidang tertentu. Masih bisa hidup sebagai manusia’baik-baik’ saja saja sudah untung.

        Karena pada kenyataannya, banyak remaja yang merasa depresi karena tidak bisa mengekspresikan apa yang menjadi minatnya. Pelampiasan depresif seringkali menjadi sesuatu yang destruktif, misalnya dugem, kebut-kebutan, free sex dan narkoba. 

        Ini bisa dimengerti karena pada prinsipnya, kebutuhan yang paling tinggi dari seorang manusia adalah kebutuhan untuk diakui eksistensinya. Jika seseorang  merasa tidak diakui dalam hal-hal positif, maka ia akan lari ke hal-hal negatif.

        Jika seorang anak merasa diacuhkan oleh orang-orang dewasa di sekitarnya, maka ia akan cenderung membuat keributan yang mengundang kemarahan. Baginya, “dimarahi” adalah bentuk perhatian, ketimbang dicueki.

        Dan jika sikap semacam itu menjadi sesuatu yang muncul dari alam bawah sadar, akan sangat berbahaya apalagi jika terjun ke dalam kehidupan masyarakat luas.

***

Akulah Bintang!

        Apa yang tebersit ketika membaca kalimat tadi? Pasti beragam. 

“Betul! Memang saya adalah bintang, Kamu bintang. Kita semua adalah bintang!”

Barangkali ada juga yang menjawab.

“Sebenarnya, saya menyadari bahwa saya ini berpotensi menjadi bintang. Namun entahlah, saat ini, saya merasa menjadi orang yang biasa-biasa saja. Terkadang, jika semangat sedang berkobar, saya pasti akan berusaha keras untuk meningkatkan kecemerlangan saya. Akan tetapi jika motivasi sedang turun, saya akan merasa sangat lelah dan hanya bisa berkata. Lantas, saya pun menyadari bahwa saya ini tak lebih seorang pecundang!”

        Bahkan tak sedikit yang menjawab.

“Ah, biasa aja. Saya orang biasa. Saya bukan siapa-siapa, tidak punya apa-apa dan tak bisa apa-apa. Tak seorang pun yang menghiraukan saya. Siapa yang peduli dengan orang seperti saya?”

        Namun ada juga yang lantang menjawab.

“Saya tak sekadar bintang. Saya adalah mega bintang, ‘superstar’! Saya bisa melakukan apa saja dan bisa mengubah tatanan dunia ini hanya dengan membalikkan telapak tangan!”

        Aha, ternyata begitu beragam reaksi tiap orang.

*** 

Kekuatan Itu Harus Dibangun

        Aku pernah membaca sebuah kutipan, bahwa "orang yang tidak efektif, hidup dari hari ke hari dengan potensi yang tak termanfaatkan". Artinya, ketika seseorang berada dalam ketidakefektifan hidup, seringkali menjadi beban tersendiri yang membuat seseorang seakan-akan hidup dalam genangan kesulitan.

        Banyak masalah, namun tak pernah sekali pun mendata masalah tersebut, merasionalkan dan mencoba mengakumulasi berbagai solusi yang mungkin bisa mengatasi sebuah masalah. Akhirnya hidup tanpa target. Padahal targetlah yang membuat hidup menjadi penuh warna, penuh inspirasi, penuh geliat, penuh gairah, dan semangat.

        Sebaliknya. Orang-orang yang mengasah potensinya, lalu mengaplikasikannya, dan senantiasa menajamkannya, bahkan men-charge potensi yang mengalami kejenuhan, akan memandang dirinya sebagai subjek, bukan objek.

        Jika dunia tak sesuai dengan apa yang mereka inginkan, maka dengan penuh semangat, mereka akan mengubah keadaan.

        Bila sebaliknya. Jangan salahkan Bunda yang mengandung. Jangan salahkan nasib yang tidak berpihak kepada kita. Jangan salahkan shio, zodiak, atau weton. Apalagi sampai menyalahkan Sang Pencipta.

        Semua itu sesungguhnya salah kita sendiri. Karena sejatinya ada bintang dalam diri kita masing-masing. Ia tersembunyi. Ia harus dicari. Diasah dan dilejitkan cahayanya. Sehingga puncak kesuksesan bukan lagi sekedar impian.

        Ya, semua orang layak menjadi bintang. Allah Swt telah men-set manusia sebagai pribadi yang luar biasa dengan berbagai keunikan yang dimilikinya. Ini yang menjadi tugas kita-bagaimana kita menjadikan keunikan itu sebagai nilai lebih dan bermanfaat-bukan hanya bagi diri kita sendiri, tetapi juga bagi orang lain.

        Jadi, bagaimana agar kita bisa menjadi subyek dari sebuah peradaban dan menjadi bintang yang bersinar?

1. Kenali diri sendiri

2. Tekun dengan proses

3. Tidak mudah puas

4. Cerdas menangkap peluang (visioner)

5. Manfaatkan teknologi

6. Mengasah dan latih kreatifitas

7. Memiliki strategi hidup


 Mulai dari merubah paradigma, dan merubah cara berpikir kita. 


Mengutip pendapat Albert Einstein,  “The world we have created is aproduct of our way of thinking.” 

        Yuk, di mulai dengan menerapkan 3 langkah sederhana ini.

"Think big! Start small! Act now!"

“Berpikir besar, mulai dari yang paling sederhana, dan lakukan sekarang juga!”

        Yakinlah! Bahwa ada bintang dalam diri kita. Karena setiap pribadi itu sebenarnya luar biasa. Karena sukses itu memang hak kita. Maka, jadilah bintang yang bersinar di antara bintang-bintang yang lain. 

        Ciptakan duniamu sendiri untuk menggapai bintang yang cahayanya cemerlang. Bukankah gemerlapnya bintang mampu menerangi hingga mencapai bumi?

        Lantas, kenapa kita tidak?


        Semoga bermanfaat.(*)

 





Jumat, 22 Oktober 2021

Bermula Dari Nol

Bermula dari Nol

Entah kebetulan atau tidak, yang pasti aku meyakini bahwa tidak ada kebetulan di dunia ini. Setiap peristiwa terjadi atas kehendak-Nya. Begitulah, saat aku mengalami dua hal yang sama persis. Berhubungan dengan tulis-menulis. Menulis dari Nol dan Ngeblog dari Nol.

Di Balik Pengalaman Menulis


Jika ada semacam "himbauan" bahwa seorang penulis sebaiknya tidak curhat di dalam tulisannya, maka aku berani mengatakan bahwa ini bukan curhatan. Tetapi healing. Ya, menulis bagiku healing.

Begitu pun, ketika menulis tentang diri sendiri lalu mengeluarkan isi hati dan pikiran berdasarkan pengalaman, jangan langsung diartikan curhatan. Atau tulisanku ini semacam testimoni, ketika menyebut beberapa kelas menulis dan nama-nama yang membuat aku terinspirasi.

Bukankah saat kita menulis sesuatu, sesungguhnya kita sedang belajar tentang kehidupan? Apalagi untuk orang yang memiliki tipe kepribadian plegmatis- melankolis dan bertemperamen ISFP seperti aku ini. 

Maka, jalan terbaik untuk mengekpresikan kesal, marah, sedih, dan arti dari cucuran airmata, salah satunya dengan menulis. Semata bentuk "defend mechanism". 
Itu yang aku lakukan sedari kecil. Menulis diari. Lalu rutin menulis di platform gratisan seperti blogspot dari tahun 2005 hingga akhir tahun 2011. (Blog Perjalanan Hidupku Curahan Hatiku)

Aku menulis apa yang ada di pikiran. Tak ada ekspektasi apa pun bahwa, tulisanku akan dilihat lalu dikomentari atau tidak oleh pembaca.

Jika kenyataannya di luar ekspektasi, tulisanku diapresiasi baik oleh blogger lain, aku semakin terpacu untuk menulis. Akhirnya sebuah passion lahir tanpa kuduga sebelumnya. Yakni menjadi penulis sesungguhnya.

Nulis dari Nol

Nol adalah titik awal perjalanan baru menuju sebuah tujuan. Begitulah. Ketika dunia literasi profesional aku mulai dari nol, tak sengaja menjadi pilihan. Itu pun setelah kebosanan di dunia nyata yang membuatku berpikir, apa yang harus aku lakukan untuk mengisi hari-hari? Bahkan ketika pandemi datang melanda negeri.

Kebosananku semakin membuncah. Tidak bisa ke luar rumah, dan tidak menghasilkan apa-apa. Menghadapi rutinitas domestik di dalam rumah yang itu-itu saja yang tidak ada habisnya. Kemudian dunia maya menjadi kegiatan rutin mengisi kesibukan. Media sosial menjadi pilihan untuk berinteraksi dan berselancar di dunia maya.


Babak baru duniaku yang lain datang setelah bertemu langsung dengan Teh Indari Mastuti, Ibu founder IIDN (Ibu-ibu Doyan Nulis) yang ramah, menyenangkan, dan baik hati, saat mengisi ruang sharing di masjid tempatku bermukim. Seketika naluri menulisku seperti diketuk. Ditambah pengalaman teh Indari menulis dan menghasilkan buku.

"Aku harus bisa!" Begitu tekadku waktu itu.

Prinsipku sederhana. Jika orang lain bisa, mengapa aku tidak? Paling tidak, prinsip ini yang akhirnya menjadi cambuk ketika aku merasa lelah dan jemu.

Dari teteh hebat ini aku belajar tentang perjuangan dari cara beliau menginspirasi orang banyak. Menghasilkan buku. Bisa menyeimbangkan peran dan berbagi peran dengan baik. Satu hal yang paling aku ambil hikmahnya dari isi sharing-nya adalah, tidak ada kesuksesan yang datang begitu saja, tetapi diraih dengan perjuangan, pengorbanan, dan ketekunan.
 
Sejak itulah aku mulai rutin menulis. Aku kembali membuka halaman grup IIDN di Facebook. Aku semakin mendalami dunia tulis-menulis setelah menemukan sebuah kelas belajar yang diprakarsai Ketua IIDN itu sendiri. Mbak Widyawati Yuliandari. Nulis dari Nol.

Kelas yang dimulai pada bulan Februari - Maret 2020 itu,  menuntunku sebagai penulis pemula dan bercita-cita ingin menjadi penulis sesungguhnya. 

Aku bergabung setelah  tergelitik dengan caption yang ditawarkan.

Bagaimana cara memulai karir di dunia penulisan, dan ingin menyalurkan hobi menulis tapi dengan jalan yang lebih terarah?





"Ini yang aku butuhkan!"

Aku pun menjadi peserta dari ratusan peserta yang ikut. Mengikuti semua arahan dan mengerjakan tugas yang diberikan.

Waktu terus bergulir tanpa sanggup ditahan. Semangat belajarku pun semakin tak terbendung. Hingga berlanjut pada kelas-kelas menulis di banyak tempat. Salah satunya mengikuti event tantangan menulis bersama Nderes Literasi. Sungguh ini pengalaman pertama yang semakin menajamkan kemampuan menulis. 

Aku bersyukur di awal menulis bertemu Mbak Fuatuttaqwiyah founder Nderes Literasi sekaligus Ketua Divisi Buku IIDN. Aku mengagumi kepiawaian Mbak Fu merangkai kata, diimbangi dengan pembawaan wanita Jawa yang kalem, baik, dan sholihah ini.

Sepanjang satu tahun penuh aku belajar, menulis, belajar, dan menulis. Apalagi kalau tujuannya untuk konsistensi menulis. Cara lain menulis konsisten melalui platform blogger.

Ngeblog dari Nol

Jika awal menulis aku mulai dari kelas menulis dari nol, maka di tahun ini ke-konsistensi-an menulisku terus aku pupuk melalui kelas belajar, Ngeblog dari Nol. 

Kembali menulis di blog menjadi pilihan untuk konsisten menulis dan mengekspresikan rasa yang ada di hati dan kepala. Bukan hal baru sebetulnya. Namun tak apalah jika sebutan pemula masih melekat ketika blog yang ada, aku biarkan "berjamur" dan tak aktif bertahun-tahun lamanya.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apa tujuanku kembali ngeblog? Jika sampai saat ini tak sedikit kelas menulis, tantangan menulis, dan tugas menulis yang sedang dijalani? Ah, benar saja jika sebutan maruk akan selalu melekat jika haus akan ilmu dan kesempatan, tidak pernah terlepas dariku.

Sedikit Tips untuk Blogger Pemula

Nah, berikut sedikit tips jika kalian ingin memulai ngeblog dan bingung bagaimana cara memulainya? Mungkin pengalaman pemula seperti aku ini bisa menjadi referensi. 

Untuk sementara, hanya tiga hal ini yang diperlukan bagi seorang blogger pemula.

Pertama, tentukan tujuan.
 
Seorang blogger wajib punya tujuan. Supaya apa? Supaya memiliki tujuan yang jelas, maka perjalanan ke depan lebih mudah karena sudah tahu apa yang hendak ditulis.

Kedua, siap menulis.

Aktivitas blogging tidak jauh-jauh dari yang namanya menulis. Maka, sejak punya niat untuk ngeblog, harus  menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menulis.

Ketiga, konsisten.

Nah, ini kayaknya yang paling susah. Biasanya blogger pemula itu semangatnya menggebu-gebu hanyadi awal ngeblog. Semakin hari semakin menurun. Apalagi jika blognya tak kunjung menunjukkan perkembangan.

Jadi, merasa berat ngeblog? 
Yuk, berpikir ulang!

Bagiku tidak! Jika tujuanku lain ngeblog hanya ingin bersenang-senang. Bebas berekpresi dalam menulis. Tidak mengejar predikat penulis hebat. Apalagi mengharap akan dibanjiri puja-puji. 

Melalui aksara aku menjadi diri sendiri. Tanpa melupakan manfaat dari tulisan yang dibagi. Pembaca mendapat manfaat dan terinspirasi dari isi tulisan yang memberi faedah dan pelajaran. Namun, jika kelak berpenghasilan, kenapa tidak? Ya, kaan?

Maka, aku hepi melakukan dan mencintai apa yang aku kerjakan.

Nah, itu! 

Tulisanku ini hanya langkah awal untuk tulisan-tulisanku selanjutnya.
 
Masya Allah. 

Semoga menjadi hikmah dan inspirasi bagi yang membaca tulisanku ini, ya?

Aamiin Allahumma Aamin.